2.1 Aliran Psikologi Tingkah Laku
Sebelum
membahas psikologi tingkah laku alangkah lebih baik jika kita lebih
dahulu membahas tentang psikologi belajar mengajar,yang sifatnya masih
umum. Psikologi belajar atau disebut pula dengan teori belajar adalah
teori yang mempelajari perkembangan intelekual (mental) siswa.
didalamnya terdiri dari dua hal, yaitu:
a. uraian tentang apa yang terjadi dan diharapkan terjadi pada intelektual anak
b. uraian tentang kegiatan intelektual anak mengenai hal-hal yang bisa dipikirkan pada usia tertentu
Psikologi
mengajar atau teori mengajar berisi tentang petunjuk bagaimana
semestinya mengajar siswa pada usia tertentu,bila ia sudah siap belajar.
jadi pada teori mengajar terdapat prosedur dan tujuan mengajar.
Jadi
dalam proses belajar siswa merupakan subjek dan bukan objek,
selanjutnya peristiwa belajar dan mengajar ini sesuai dengan istilah
dalam kurikulum akan disebut pembelajaran, yang berkonotasi pada proses
kinerja yang sinergi antara setiap komponennya.
2.1.1 Teori Thorndike
Edward
l. Thorndike (1874-1949) mengemukan beberapa hukum belajar yang dikenal
dengan sebutan law of effect. Menurut hukum ini belajar akan lebih
berhasil bila respon murid terhadap suatu stimulus segera diikuti dengan
rasa senang atau kepuasan. Teori belajar stimulus respon yang
dikemukakan oleh thorndike ini disebut juga koneksionisme,teori ini
mengatakan bahwa pada hakikatnya belajar merupakan proses pembentukan
hubungan antara stimulus dan respon. Terdapat beberapa dalil:
a. Hukum Kesiapan (Law Of Readiness)
Yaitu
menerangkan bagaimana kesiapan seorang anak dalam melakukan suatu
kegiatan. Seorang anak yang mempunyai kecenderungan untuk bertindak atau
melakukan kegiatan tertentu dan kemudian dia benar melakukan kegiatan
tersebut, maka tindakannya akan melahirkan kepuasan bagi dirinya.
Tindakan-tindakan lain yang dia lakukan tidak menimbulkan kepuasan bagi
dirinya.
b. Hukum Latihan (Law Of Exercise) dan Hukum Akibat (Law Of Effect).
Hukum
latihan menyatakan bahwa jika hubungan stimulus respon sering terjadi,
akibatnya hubungan akan semakian kuat. Sedangkan makin jarang hubungan
stimulus respon dipergunakan maka makin lemahnya hubungan yang terjadi.
Dalam
hukum akibat ini dapat disimpulkan bahwa kepuasan yang terlahir dari
adanya ganjaran dari guru akan memberikan kepuasan bagi anak, dan anak
cenderung untuk berusaha melakukan atau meningkatkan apa yang telah
dicapainya itu. Guru yang memberi senyuman wajar terhadap jawaban anak,
akan semakin menguatkan konsep yang tertanam pada diri anak. Kata-kata “
Bagus”, “Hebat” , ”Kau sangat teliti” dan semacamnya akan merupakan
hadiah bagi anak yang kelak akan meningkatkan dirinya dalam menguasai
pelajaran.
Disamping itu, Thorndike
mengutamakan pula bahwa kualitas dan kuantitas hasil belajar siswa
tergantung dari kualitas dan kuantitas Stimulus-Respon (SR) dalam
pelaksanaan kegiatan belajar mengajar. Makin banyak dan makin baik
kualitas S-R itu (yang diberikan guru) makin banyak dan makin baik pula
hasil belajar siswa.
Implikasi dari aliran pengaitan ini dalam kegiatan belajar mengajar sehari-hari adalah bahwa:
a. Dalam
menjelaskan suatu konsep tertentu, guru sebaiknya mengambil contoh yang
sekiranya sudah sering dijumpai dalam kehidupan sehari-hari. Alat
peraga dari alam sekitar akan lebih dihayati.
- Metode
pemberian tugas, metode latihan (drill dan practicc) akan lebih
cocok. Karna siswa akan lebih banyak mendapatkan stimulus sehingga
respons yang diberikan pun akan lebih banyak.
- Dalam
kurikulum, materi disusun dari materi yang mudah, sedang, dan
sukar sesuai dengan tingkat kelas dan tingkat sekolah. Penguasaan
materi yang lebih mudah sebagai akibat untuk dapat menguasai materi
yang lebih sukar.
2.1.2 Teori Skinner
Dalam
bagian ini akan diuraikan teori belajar menurut skinner. Burhus
Frederic Skinner menyatakan bahwa ganjaran atau penguatan mempunyai
peranan yang amat penting dalam proses belajar. Penguatan dapat dianggap
sebagai stimulus positif, jika penguatan tersebut seiring dengan
meningkatnya perilaku anak dalam melakukan pengulangan perilakunya itu.
Untuk mengubah tingkah laku anak dari negatif menjadi positif, guru
perlu mengetahui psikologi yang dapat digunakan untuk memperkirakan dan
mengendalikan tingkah laku anak.
Skinner
menambahkan bahwa jika respon siswa baik ( menunjang efektivitas
pencapaian tujuan) harus segera diberikan penguatan positif agar respon
tersebut lebih baik lagi, atau minimal perbuatan baik itu dipertahankan.
2.1.3 Teori Ausubel
Teori
ini terkenal dengan belajar bermaknanya dan pentingnya pengulangan
sebelum belajar dimulai. Ia membedakan belajar menemukan dengan belajar
menerima, jadi tinggal menghafalnya. Tetapi pada belajar menemukan
konsep ditemukan oleh siswa, jadi tidak menerima pelajaran begitu saja.
Selain itu untuk dapat membedakan antara belajar menghafal dengan
belajar bermakna.
Pada
belajar menghafal, siswa menghafal materi yang sudah diterimanya,
tetapi pada belajar bermakna materi yang diperoleh itu dikembangkan
dengan keadaan lain sehingga belajar lebih dimengerti. Selanjutnya bahwa
Ausubel mengemukan bahwa metode ekspositori adalah metode mengajar yang
baik dan bermakna. Hal ini dikemukan berdasarkan hasil penelitiannya.
Belajar menerima maupun menemukan sama-sama dapat berupa belajar
menghafal atau bermakna.
Misalnya dalam mempelajari konsep Pitagoras tentang segitiga siku-siku, mungkin bentuk akhir c2= b2+a2 sudah disajikan, tetapi jika siswa memahami rumus itu selalu dikaitkan dengan sisi-sisi sebuah segitiga siku-siku akan lebih bermakna.
2.1.4 Teori Gagne
Menurut
Gagne dalam belajar matematika ada dua objek yang dapat diperoleh
langsung oleh siswa, yaitu objek langsung dan objek tidak langsung.
Objek tak langsung antara lain kemampuan menyelidiki dan memecahkan
masalah, belajar mandiri, bersikap positif terhadap matematika dan tahu
bagaimana semestinya belajar. Sedangkan objek lansung berupa fakta,
keterampilan, konsep, dan aturan.
Fakta
adalah objek matematika yang tinggal menerimanya, seperti lambang
bilangan, sudut, dan notasi-notasi matematika lainnya. Kemampuan berupa
memberikan jawaban dengan tepat dan cepat,misalnya melakukan pembagian
bilangan yang cukup besar dengan bagi kurang,menjumlahkan
pecahan,melukis sumbu sebuah ruas garis.
Konsep
adalah ilmu abstrak yang memungkinkan kita dapat mengelompokkan objek
ke dalam contoh dan noncontoh misalkan konsep, bujur sangkar, bilangan
prima, himpunan, dan fektor.
Aturan
adalah objek yang paling abstrak yang berupa sifat dan teorema. Menurut
Gagne, belajar dapat dikelompokkan menjadi delapan titik belajar yaitu:
belajar isyarat , stimulus respon, rangkaian gerak, rangkaian verbal,
membedakan, pembentukan konsep, pembentukan aturan, dan pemecahan
masalah.
Dalam pemecahan masalah biasanya ada 5 langkah yang harus dilakukan. Yaitu:
1. Menyajikan masalah dalam bentuk yang lebih jelas.
2. Menyatakan masalah dalam bentuk yang lebih operasional.
3. Menyusun hipotesis hipotesis alternattif dan prosedur kerja yang diperkirakan baik.
4. Mengetes hipotesis dan melakukan kerja untuk memperoleh hasilnya.
5. Mengecek kembali hasil yang sudah diperoleh.
2.1.5 Teori Pavlov
Pavlof
terkenal dengan teori belajar klasik. Ia melakukan percobaan terhadap
seekor anjing, anjing itu dikurung dalam suatu kandang dalam waktu
tertentu dan diberi makan. Selanjutnya, setiap akan diberi makan Pavlov
membunyikan bel, ia memperhatikan bahwa setiap dibunyikan bel pada waktu
tertentu anjing itu mangeluarkan air liurnya, walaupun tidak diberi
makanan.
Pavlov
mengemukakan konsep pembiasaan atau conditioning. Dalalm hubugannya
dalam kegiatan belajar mengajar agar siswa belajar dengan baik maka
harus dibiasakan. Misalnya, agar siswa mengerjakan soal peekerjaan rumah
dengan baik, biasakanlah dengan memeriksanya, menjelaskannya, atau
memberi nilai terhadap hasil pekerjaannya.
2.1.6 Teori Baruda
Baruda
mengemukakan bahwa siswa belajar itu melalui meniru. Pengertian meniru
di sini bukan berarti menyontek, tetapi meniru hal-hal yang dilakukan
oleh orang lain, terutama guru. Jika tulisan guru baik, guru berbicara
sopan santun, tingkah laku yang terpuji, menerangkan dengan jelas dan
sistematis, maka siswa akan menirunya. Jika contoh yang dilihat kurang
baik maka ia pun akan menirunya.
2.1.7 Aliran Latihan Mental
Aliran
ini berkembang sampai dengan abad 20, yang mengemukakan bahwa struktur
otak manusia terdiri atas gumpalan-gumapalan otot, agar ini kuat, maka
harus dilatih dengan beban, makin banyak latihan dan beban yang makin
berat,maka otot atau otak itu makin kuat pula, oleh karna itu jika anak
atau siswa ingin pandai, maka ia harus dilatih otaknya dengan cara
banyak berlatih memahami dan mengerjakan soal-soal yang benar, makin
sukar materi itu makin pandai pula anak tersebut.
Struktur
kurikulum pada masa itu berisikan materi-materi pelajaran yang sulit,
sehingga orang sedikit yang bersekolah karna tidak kuat untuk
mengikutinya. Disamping faktor lain seperti keturunan, biaya, dan
kesadaran akan pentingya sekolah.
2.2 Aliran Psikologi Kognitif
2.2.1 Teori Piaget
Piaget menyebut bahwa struktur kognitif ini sebagai Skemata (Schemas),
yaitu kumpulan dari skema-skema. Seorang indiviidu dapat mengikat,
memahami, dan memberikan respons terhadap stimulus disebabkan karena
adanya kerja dari schemata ini.
Perkembangan
schemata ini berlangsung terus-menerus melalui adaptasi dengan
lingkungannya. Skemata tersebut akan membentuk suatu pola penalaran
tertentu dalam pikiran anak. Makin baik kualitas skema ini, makin baik
pulalah pola penalaran anak tersebut. Proses terjadinya adaptasi dari
skemata yang telah terbentuk dengan stimulus baru dilakukan dengan dua
cara yaitu, asimilasi dan akomodasi. Asimilsia dalah proses
pengintegrasian secara langsung stimulus baru kedalam schemata yang
telah terbentuk. Sedangkan akomodasi adalah proses pengintegrasian
stimulus baru kedalam skema yang telah terbentuk secara tidak langsung.
Dalam
struktur kognitif setiap individu mesti ada keseimbangan antara
asimilasi dengan akomodasi. Perkembangan kognitif pada dasarnya adalah
perubahan dari keseimbangan yang telah dimiliki kekeseimbangan baru yang
diperolehnya. Tahap perkembangan kognitif atau taraf kemampuan berfikir
seorang individu sesuai dengan usianya. Makin ia dewasa
makin meningkat pula kemampuan berfikirnya. Jadi, dalam memandang anak
keliru kalau beranggapan bahwa kemampuan anak sama dengan kemampuan
orang dewasa, sebab anak bukanlah miniature orang dewasa. Selain dari
pada itu, perkembangan kognitif seseorang dipengaruhi pula oleh
transmisi social dan lingkungannya.
Berdasarkan
hasil penelitiannya, Piaget mengemukakan bahwa ada 4 tahap perkembangan
kognitif dari setiap individu yang berkembang secara kronoligis
(menurutusiakalender) yaitu:
1. Tahap sensori motor, dari lahir sampai umur sekitar 2 tahun,
2. Tahap praoperasi, dari sekitar umur 2 tahun sampai dengan sekitar umur 7 tahun,
3. Tahap operasi konkrit, dari sekitar umur 7 tahun sampai dengan sekitar umur 11 tahun,
4. Tahap operasi formal ,dari sekitar umur 11 tahun sampa dengan seterusnya.
Dan teori ini berdasarkan pada hasil penelitian di Negeri Swiss pada tahun 1950.
a. TahapSensori Motor (Sensory Motor Stage)
Pada tahap ini, pengalaman diperoleh melalui perbuatan fisik dan sensori (koordinasi alat indra).
b. Tahap Pra Operasi (Pre OperasionalStrage)
Tahap ini adalah tahap persiapan untuk pengorganisasian operasi konkrit.
c. Tahap Operasi Konkrit (Concrete Operational Stage)
Pada tahap ini anak belum mampu menguasai symbol verbal dan ide-ide abstrak.
d. Tahap Operasi Formal (Formal Operation Stage)
Tahap
operasi formal merupakan tahap akhir dari perkembangan kognitif secara
kualitas. Jadi, anak pada operasi formal tidak lagi berhubungan dengan
ada tidaknya benda-benda konkrit, tetapi berhubungan dengan tipe
berfikir.
2.2.2 Teori Bruner
Bruner
melalui teorinya itu, mengungkapkan bahwa dalam proses belajar anak
sebaiknya diberi kesempatan untuk memanipulasi benda-benda (alatperaga).
Bruner mengemukakan bahwa dalam proses belajarnya anak melewati 3 tahap yaitu:
a. Tahap Enaktif
Dalam tahap ini anak secara langsung terlihat dalam memanipulasi (mengotak-atik) objek.
b. Tahap Ikonik
Dalam
tahap ini kegiatan yang dilakukan anak berhubungan dengan mental, yang
merupakan gambaran dari objek-objek yang dimanipulasinya.
c. Tahap simbolik
Dalam tahap ini anak memanipulasi simbol-simbol atau lambang-lambang objek tertentu.
Bruner
juga mengadakan pengamatan ke sekolah-sekolah. Dari hasil pengamatannya
itu diperoleh beberapa kesimpulan yang melahirkan dalil-dalil. Diantara
dalil-dalil tersebut adalah dalil-dalil penyusunan,dalil notasi, dalil
kekontrasan, dan dalil keanekaragaman serta dalil pengaiatan.
2.2.3 Teori Gestalt
Tokoh
aliran ini adalah John Dewey, ia mengemukakan bahwa pelaksanaan
kegiatan belajar mengajar yang diselenggarakanoleh guru harus
memperhatikan hal-hal berikut ini.
a) Penyajian konsep harus lebih mengutamakan pengertian,
b) Pelaksanaan kegiatan belaja rmengajar harus memperhatikan kesiapan intelektua lsiswa, dan
c) Mengatur suasana kelas agar siswa siap belajar.
Selain
daripada itu, kita ketahui bahwa factor eksternal bisa mempengaruhi
pelaksanaan dan hasil belajar siswa. Oleh karena itu, sebelum, selama,
dan sesudah mengajar guru harus pandai-pandai (berusaha) untuk
menciptakan kondisi agar siswa siap untuk belajar dengan perasaan
senang, tidak merasa terpaksa.
2.2.4 Teori Brownel
W.Brownell
mengemukakan bahwa belajar matematika harus merupakan belajar bermakna
dan pengertian. Terdapat perkembangan yang menunjukkan bahwa doktrin
disiplin formal itu memilki
kekeliruan yang cukup mendasar. Dari hasil penelitian yang dilaksanakan
pada abad 19 terdapat hasil yang menunjukkkan bahwa belajar tidak
melalui latihan hafalan dan mengasah otak, namun diperoleh anak melalui
bagaimana anak berbuat, berfikir, memperoleh persepsi dan lain-lain.
2.2.5 Teorema Van Hiele
Teori-teori
sebelumnya yang diberikan adalah teori bagaimana cara belajar mengajar
dalam matematika. Pada teori ini ahli memberikan teori mengenai
bagaimana proses pembelajaran dalam geometri.
Teori
ini diungkapkan oleh Van Hiele, dimana dalam teori ini dikhususkan
untuk menguraikan tahap-tahap perkembangan mental anak dalam geometri.
Sebelum lebih jauh membahas mengenai teorinya, Van Hiele adalah seorang
guru bangsa Belanda yang mengadakan peneltian dalam pengajaran geometri.
Hasil penelitian itulah kemudian disertasinya, dimana diperoleh dari
kegiatan tanya jawab dan pengamatan.
Menurut
Van Hiele, tiga unsur utama dalam pengajaran geometri yaitu waktu,
materi pengajaran dan metode pengajaran yang diterapkan, jika ditata
secara terpadu akan dapat meningkatkan kemampuan berfikir anak kepada
tingkatan berfikir yang lebih tinggi.
Van Hiele menyatakan bahwa terdapat 5 tahap belajar dalam belajar geometri, yaitu:
1. Tahap Pengenalan
Pada
tahap ini adalah awal anak belajar mengenali suatu bentuk geometri
secara keseluruhan, akan tetapi sang anak belum mengetahui adanya
sifat-sifat yang dilihatnya tersebut. Contohnya jika seorang anak di
perlihatkan pada sebuah bangun ruang yaitu misalnya kubus atau balok, dalam
hal ini sang anak belum mengetahui mengenai sifat-sifat balok yaitu
misalnya memiliki 12 rusuk,6 sisi berbentuk persegi yang memiliki rusuk
yang sama panjang.
2. Tahap Analisis
Pada
tahap ini anak sudah dapat mengenali sifat-sifat yang dimiliki oleh
benda geometri yang ia amati. Ia sudah dapat mengatakan keteraturan yang
terdapat di dalam benda tersebut. Contohnya ketika ia melihat sebuah
bangun geometri misalnya bangun persegi, ia sudah dapat menyebutkan jika
persegi mempunyai empat panjang sisi yang panjangnya sama, kemudian
memiliki sudut yang besarnya 90 derajat disalah satu sisinya. Namun
demikian, dalam tahap ini anak belm mengetahui hubungan antar suatu
benda geometri, misalnya persegi adalah bujur sangkar, beah ketupat
adalah bujur sangkar dan sebagainya.
3. Tahap Pengurutan
Pada
tahap ini anak sudah mulai dapat berfikir dan mampu menarik kesimpulan,
atau bisa yang dikenal dengan sebutan berfikir deduktif. Namun demikian
kemampuan ini belum dapat berkembang secara utuh. Satu hal yang harus
diketahui yaitu anak pada usia ini mampu untuk mengurutkan. Misalnya ia
sudah mengenali bahwa bujur sangkar adalah jajar genjang, bahwa belah
ketupat adalah layang-layang. Demikian halnya dalam pengenalan
benda-benda ruang, anak-anak dapat memahami bahwa kubus adalah bangun
balok yang termasuk ke dalam bangun ruang juga.
Anak-anak
dapat memahami bahwa antara balok dan kubus memiliki kesamaan yaitu
sisinya berbentuk bujur sangkar, hanya bedanya pada balok semua sisinya
berbetuk persegi panjang. Perkembangan pola fikir anak pada usia ini
masih belum dapat menerangkan mengapa diagonal-diagonal suatu persegi
panjang itu sama, artinya ia masih belum berfikir mengenai asal-muasal
suatu hal, karena mereka belum dapat berfikir hingga lebih khusus
mengenai suatu hal yang dilihatnya.
4. Tahap Edukasi
Pada
tahap ini anak sudah mampu menarik kesimpulan secara deduktif, yaitu
penarikan kesimpulan dari hal yang sifatnya umum ke hal yang sifatnya
khusus. Demikian pula ia telah mengerti betapa pentingnya peranan
unsur–unsur yang tidak didefinisiskan, disamping unsur yang dapat
didefinisikan. Misalnya, anak sudah mulai memahami mengenai dalil. Atau
pada tahap ini anak mampu menggunakan aksioma atau postulat yang
digunakan dalam pembuktian. Namun, pada tahap ini anak belum dapat
berfikir, mengapa aksioma atau postulat itu bisa di gunakan sebagai cara
dalam pembuktian.
5. Tahap Deduksi
Pada
tahap ini anak sudah mulai menyadari betapa pentingnya ketepatan dari
prinsip-prinsip dasar yang melandasi suatu pembuktian. Yaitu anak sudah
dapat berfikir karena ia menyadari mengapa hal itu dapat dijadikan suatu
cara untuk membuktikan, anak sudah mulai berfkir secara khusus.
Misalnya, ia mengetahui pentingnya aksioma-aksioma atau
postulat-postulat dari geometri Euclid. Tahap akurasi merupakan
tahap berfikir yang tinggi, rumit, dan kompleks. Oleh sebab itu sudah
jelas jika semua anak meskipun telah berada di bangku sekolah atas belum
sampai pada tahap berfikir ini.